Makalah

Sejarah Sosial dan Intelektual Pendidikan Islam [1]

Posted on Updated on

Kemunculan dan perkembangan tradisi keilmuan dan dinamika pemikiran pendidikan Islam di Nusantara selalu berkaitan dengan kondisi lingkungan yang mengitarinya. Kemunculan dan perkembangan tersebut lebih sebagai formulasi baru perpaduan antara kebudayaan dan peradaban yang sudah ada dan inheren dalam masyarakat itu dengan kebudayaan dan peradaban baru yang datang kepadanya. Dari sudut tersebut, maka perjalanan sejarah pendidikan Islam di nusantara menjadi sangat menarik untuk dikaji karena di samping nuansa spiritualis kental (thariqah) yang mengiringi penyebaran awalnya, lembaga pendidikan tersebut juga telah menjadi agen transformasi nilai dan budaya dalam sebuah komunitas yang bersifat dinamis. Sehingga, keberadaanya diakui memiliki pengaruh besar dalam membentuk bangsa ini, membebaskannya dari belenggu penjajahan, dan menelurkan generasi demi generasi yang mewarnai kemerdekaan negeri ini.

Ketika globalisasi merambah ke seluruh aspek kehidupan, di hampir setiap sudut muka bumi mengalami pergeseran nilai. Banyak tradisi dan gaya hidup yang saling bergesekkan tapi kebanyakan saling mengisi. Bagi sebagian insan ada yang mengikuti arus tetapi bagi sebagian yang lain banyak yang berpegang teguh pada khittah-nya. Tetapi kebanyakan menikmati perubahan itu dengan tetap berpegang pada tradisinya. Konstelasi perubahan dunia ini ketika merembes ke akar rumput atau perubahan yang dirasakan langsung oleh masyarakat beragama, yang nilai keagamaannya berbenturan langsung dengan efek globalisasi, sebenarnya telah dapat dikomparasikan dengan berbagai catatan-catatan sejarah yang ada.

Bila keadaan ini dikerucutkan pada permasalahan yang terjadi pada komunitas intelektual Islam dari masa ke masa, di mana polemik pergeseran nilai pernah terjadi. Seperti pertentangan para filsuf Islam dan kaum fuqaha, bahkan pertentangan kepentingan politik untuk membujuk umat muslim dari golongan lain, misalnya syi’ah dan sunni pada masa dinasti Fathimiyah. Dan sebagaimana diketahui, abad awal imperium Islam terkotak-kotak dengan banyak ajaran politik, pergolakan dan perbedaan pendapat.

Dengan cara ini muncul tradisi-tradisi intelektual islam. Tradisi filosofi yang rasionalis, tradisi skolastik sunni, tradisi syiah dan sebagainya. Dan buku ini membahas signifikasi dari kehidupan intelektual dan menganalisis ragam kekuatan internal dan eksternal (politik, religius, filsafat dan sains) yang memunculkan ilmu-ilmu rasional pada abad-abad permulaan islam, perkembangan intelektualitas islam pada abad pertengahan, hubungan antara otoritas politik dan agama disatu sisi dan kehidupan sosial-intelektual Masyarakat Muslim di sisi lain pada era pra-modern hingga era kontemporer.

Penjelasan dan tulisan beberapa buku memang lebih profan (membumi) dari pada transenden (melangit). Karena para penulisnya pun memiliki tradisi yakni pendekatan sejarah. Jadi sebagai historian mereka melakukan kajian literatur dan tekstual yang menganalisa banyak segi intelektualitas yang menjadikannya fenomena majemuk hasil dari pengaruh berbagai kebudayaan, sebagai hasil dari penyebaran islam yang dalam waktu singkat telah meluas dari Spanyol hingga anak benua India. Sehingga konsekuensinya tradisi ke-Islaman di wilayah dan masyarakat baru tersebut berkontribusi secara langsung dan tidak dalam berbagai budaya dan pemikiran. Dari awal penyebaran Islam hingga kini hal tersebut terus berlanjut.

Ada banyak pemikiran Islam modern yang memiliki konklusi yang bisa diperdebatkan, seperti Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa dari pengalamannya melakukan studi dan analisa beliau menyatakan bahwa Islam akan maju bila kita kembali memegang teguh ajaran para awalun mukmin, yakni masa-masa kerasulan Muhammad saw. dan sahabat. Apakah ini jawaban beliau terhadap banyaknya sungai kecil tradisi dalam arus sungai besar globalisasi dunia? Kemajemukan tradisi tradisi Intelektual islam yang kaya dari awal Islam hadir hingga masa modern di perkaya lagi oleh fenomena budaya. Bagaimanakah kemajemukan tradisi itu lalu mengerucut dan raib sejengkal demi sejengkal, akankah mengarus menjadi seragam dan tunggal? Mampukah perkembangan pendidikan Islam selanjutnya ini mengisi kekosongan (missing link) antara Islam dan Modernitas atau wajah Islam yang selaras sebagai suatu peradaban besar?

Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman Nabi, pendidikan Islam berarti memasukkan ajaran Islam ke dalam unsur budaya Arab pada masa itu, sehingga diwarnai oleh Islam. Dengaan terealisasinya pendidikan, maka terbentuklah suatu aturan nilai budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembangan zaman.

Sebenarnya sasaran pembudayaan Islam tersebut bukan hanya mewariskannya kepada generasi muda saja, tetapi meluas jangkauan penetrasi budaya Islam kepada budaya umat, kepada bangsa-bangsa di luar negeri Arab, sudah dirintis. Dengan demikian pendidikan Islam, pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam. Tujuan dari keduanya, tak lain penyampaian ajaran Islam dan bisa menerimanya menjadi sistem hidup.

Namun pada masa kejayaan, terjadi dialog yang seru antara prinsip-prinsip Islam sebagaimana terangkum dalam al-Qur’an dengan budaya manusiawi yang telah berkembang pada masa itu. Dialog tersebut nampak dalam perbedaan-perbedaan pemikiran dan pandangan yang menimbulkan sikap kebijaksanaan yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah yang baru timbul sebagai akibat bertambah banyaknya pemeluk agama Islam. Bentuk konkritnya adalah tumbuhnya berbagai aliran aliran dan madzhab dalam berbagai aspek budaya Islami. Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhannya muncul tiga pola, yaitu: 1) Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terkait pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama. Mereka terikat pada Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. 2) Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran. Pola pikir ini menganggap bahwa akal pikiran sebagaimana juga hanya dengan wahyu, adalah merupakan sumber kebenaran. 3) Pola pemikiran yang bersifat bathiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufistik. Kebenaran yang diperoleh melalui pengamalan-pengamalan batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi.

Hal ini terjadi di berbagi negara-negara Islam, khususnya Baghdad, Mesir, dan Andalusia. Namun ada nilai positif dari perkembanganya yang membuat negara terangkat, seperti sisi politik, pendidikan, intelektualnya, dan perpustakaan. Selain itu, masa keemasan dan kehancurannya tertuah dalam suatu sejarah, dengan tujuan agar kita bisa menafsirkan, memahami, mengerti, dan belajar dari mereka. Karena sejarah merupakan ilmu yang madiri. Mandiri artinya mempunyai filsafat sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri.

Kebijakan dan Pengembangan Pondok Pesantren di Indonesia [3]

Posted on Updated on

Strategi penguatan internal institusi lembaga pendidikan Islam dalam hal ini pontren meliputi: penguatan institusi dengan kebijakan yang mendukung; penataan manajemen mulai dari perencanaan hingga evaluasi yang tidak hanya berorientasi pada mutu hasil melainkan juga pada mutu proses pelaksanaan; pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan yang mampu bertahan dan bersaing dengan perkembangan global; dan kemampuan beradaptasi dengan kemampuan global atau internasional yang tentunya membutuhkan pengetahuan, wawasan global dan kemampuan berkomunikasi serta kemampuan bahasa; di mana sebenarnya empat poin ini sudah terbudaya di pontren sebagai lembaga pendidikan Islam sehingga hanya perlu ditingkatkan frekuensi dan kualitasnya.

Pontren dalam kiprahnya mewarnai varian lembaga pendidikan Islam akan semakin diperhitungkan bila mempertimbangkan beberapa terobosan seperti: membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik dan bersifat bottom up; melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, sarana olahraga, dan internet; memberikan kebebasan pada santri yang ingin mengembangkan talentanya masing-masing baik yang berkenaan dengan pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun kewirausahaan; dan menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat.

Daftar Pustaka

Haidar Putra Daulay, “Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia”, Jakarta: Prenada Media, 2007.
Abdurrahman Mas’ud, “Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren”, Jakarta: Prenada Media, 2006.
Mastuhu, “Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam”, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.
Husen Hasan Basri, “Pandangan Kiai terhadap Peningkatan Mutu Kajian Kitab Kuning di Pesantren”, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI, Jakarta, 2015.
Nunu Ahmad An-Nahidl, “Pemetaan Kapasitas Kelembagaan Pesantren”, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI, Jakarta, 2015.
Mahmud Arif, “Pendidikan Islam Transformatif”, Yogyakarta: LKiS, 2008.

Kebijakan dan Pengembangan Pondok Pesantren di Indonesia [2]

Posted on Updated on

Kebijakan Kualitas Kajian Kitab Kuning

Dalam hal peningkatan mutu kajian kitab kuning dimulai dari aspek kelembagaan, di mana fungsi pontren sebagai lembaga reproduksi ulama, dengan sistem jenjang pendidikan yang memerlukan kesetaraan dengan lembaga formal. Otoritas tata kelola lembaga pontren juga sebaiknya didistribusikan dengan banyak pihak. Kiai pontren berkewajiban meningkatkan kompetensinya di berbagai bidang keilmuan, bahkan keilmuan di luar mazhab tertentu. Sehingga sangat penting perpustakaan pontren menghimpun kitab-kitab kuning dari berbagai mazhab.

Pada aspek peserta didik atau santri pontren, pentingnya santri diberikan pengetahuan tentang karya tulis ilmiah, teknik penulisan serta penyajiannya dalam forum mudzakarah, selain juga dilatih melakukan tahqiq al-kutub. Santri perlu memperdalam pelajaran bahasa arab sebagai pondasi dalam mempelajari kitab kuning secara seutuhnya. Santri perlu menguasai kitab kuning pada seluruh tingkatan, meski saat ini rata-rata santri hanya mempelajari kitab kuning pada tingkatan dasar. Hal ini perlu menjadi perhatian karena saat ini tingkat penguasaan rata-rata santri atas kitab kuning cenderung menurun, dan bidang keilmuan yang dipelajari pun terbatas. Adapun penyebabnya saat ini waktu yang digunakan santri lebih banyak di madrasah atau sekolah, dan waktu santri untuk mempelajari kitab kuning lebih sedikit. Keberadaan buku rapor dan tanda kelulusan atau ijazah yang diakui legalitasnya oleh pemerintah sangat diperlukan dalam menunjang prestasi akademik santri, yang juga sangat dibutuhkan manakala santri ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Pada aspek kurikulum pontren, mempelajari kitab kuning adalah unsur utama kurikulum pendidikan pontren. Kajian kitab kuning membutuhkan sebuah pedoman sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran, selain sebagai tolak ukur untuk memastikan bidang keilmuan yang dipelajari sesuai jenjangnya. Dalam menyusun strategi dan implementasinya, pembelajaran yang penting adalah memahami kitab kuning dengan menguasai manhajul fikr-nya, mendalami thoriqot istinbat al hukm, dilanjutkan dengan mengetahui latar belakang kehidupan penulisnya. Dalam memahami kitab kuning lebih lanjut juga perlu diketahui bagaimana latar belakang sosial dan politik saat kitab itu ditulis.

Upaya untuk meningkatkan minat santri memahami agama (tafaqquh fid-din) melalui kitab kuning ini dapat dilakukan oleh kiai bersama dengan pengurus seperti: penerapan sisim salaf (tradisional) dan mu’adalah (modern), pemberian motivasi dan nasihat, intimidasi atau hukuman, melaksanakan pembelajaran intensif bagi santri, melaksanakan atau mengikuti kegiatan perlombaan.

Dalam upaya meningkatkan pemahaman kitab kuning tersebut, Kementerian Agama bersama-sama pihak pontren perlu merumuskan grand design kaderisasi ulama mutafaqqih fid-din dengan konsentrasi kajian kitab kuning. Hal ini memerlukan sebuah satuan atau program seperti jenis pendidikan kader ulama di pontren yang akan menggunakan kita kuning sebagai sumber belajar pada seluruh struktur kurikulumnya. Program ini merupakan pendidikan yang terarah, terencana dan berkelanjutan yang dimulai sejak pendidikan dasar, menengah, atas hingga jenjang pendidikan tinggi.

Selaras dengan hal tersebut, Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian terkait juga perlu memberikan bantuan sumberdaya pendidikan, melindungi kemandirian dan keikhlasannya, serta melakukan akreditasi untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

Selanjutnya pihak Kementerian Agama melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan menjadi bagian dari supporting system dalam konteks peningkatan mutu terhadap satuan atau program atau jenis pendidikan kader ulama mutafaqqih fid-din di pontren. Untuk mengimbangi upaya ini maka pihak pontren memformulasikan berbagai bentuk dan model kajian kitab kuning di pontren masing-masing kepada satuan atau program seperti jenis pendidikan kader ulama mutafaqqih fid-din yang akan dikembangkan oleh Pemerintah lebih lanjut.

Kebijakan Kualitas Kapasitas Lembaga Pontren

Menurut ahli psikologi organisasi Bruce Tackman, tahap perkembangan organisasi meliputi posisi atau fase forming, storming, norming dan performing. Dengan menggunakan teori ini maka dapat digambarkan tentang kondisi riil kapasitas pontren di Indonesia yang diklasifikasikan menjadi tipe pontren A, B dan C. Selaras dengan hal tersebut tipologi pontren dalam hal ini menjadi: pontren ideal, transformatif dan standar. Pontren ideal merupakan klasifikasi A adalah pontren yang telah mencapai kondisi performing, yaitu telah melampaui fase forming, storming dan norming. Pontren ini telah berhasil memerankan seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki dalam berbagai kiprah pontren, meliputi pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan politik bagi kemajuan masyarakat dan negara. Pontren transformatif atau tipe B adalah pontren dalam posisi storming dan norming, sedangkan pontren standar atau tipe C adalah pontren yang sedang berkembang (dalam tahap forming).

Sebuah pontren selayaknya harus memenuhi aspek-aspek sebagai berikut: aspek legal formal pontren, kiai, santri mukim, masjid sebagai laboratorium agama, sumber belajar, sarana pendidikan asrama, ruang belajar, perpustakaan, sistim nilai (kultur pontren) dan sarana penunjang kemandirian pontren. Pada aspek pengembangan program kelembagaan pontren untuk meningkatkan eksistensinya, meliputi penyusunan dan penerbitan kitab sumber belajar, ikatan alumni, beasiswa pengembangan tenaga pengajar, pertukaran santri, dan peningkatan kualitas administrasi dan SDM di bidang ekonomi keuangan. Unsur yang dominan dalam mempengaruhi peningkatan kapasitas pontren adalah ketersediaan sarana prasarana dan heterogenitas asal santri.

Kebijakan dan Pengembangan Pondok Pesantren di Indonesia [1]

Posted on Updated on

Latar Belakang

Secara bahasa istilah, pondok berasal dari bahasa Arab funduk, yang berarti tempat penginapan atau tempat bermalam. Pondok juga sering dimaknai dengan asrama yang juga berarti tempat tinggal. Dalam konteks ini pondok merupakan tempat tinggal santri dalam menuntut ilmu. Di pondok tersebut, terjadi proses pembelajaran, terutama kitab kuning atau kitab Islam klasik. Di pondok juga terjadi proses komunikasi dan pembimbingan oleh kiyai kepada santrinya, bahkan dalam waktu 24 jam. Dengan demikian dapat dilihat, urgensi pondok bagi suatu pesantren, pertama, banyaknya santri yang terus berdatangan dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu kepada kiyai. Kedua, pesantren tersebut banyak terletak di desa, di mana tidak tersedia perumahan atau penginapan untuk menampung banyaknya santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kiyai dan santri, di mana para santri menganggap kiyai seolah-olah orang tuanya sendiri.

Pondok Pesantren (selanjutnya disebut pontren) yang berarti tempat tinggal para santri didefinisikan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran Islam non-klasikal, di mana kiyai mengajarkan ilmu agama kepada santri yang ditulis dalam Bahasa Arab dan para santri tinggal di dalam pontren tersebut. Pontren yang ada di Indonesia termasuk salah satu institusi yang paling mampu merespons tantangan modernisasi dibandingkan dengan lembaga pendidikan sejenis yang ada di negara lain. Pontren saat ini tidak hanya melaksanakan tiga fungsi tradisionalnya, yaitu transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama; tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Dalam konteks ini terlihat semakin banyak pontren yang terlibat aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha agrobisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan dan kehutanan, pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, koperasi dan sebagainya.

Pontren adalah lembaga pendidikan pencetak dan pengkaderan ulama. Sebagian besar ulama di tanah air dilahirkan oleh pendidikan pesantren dan sejenisnya. Maka tugas utama pontren sebagai lembaga pendidikan reproduksi ulama hendaknya tetap dipertahankan kelangsungannya. Pontren yang berkembang saat ini menjadi sangat penting untuk terus didorong agar tetap mampu melahirkan ulama-ulama mutafaqqih fid-din.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kaderisasi ulama menjadi penting dilakukan, dan untuk mengkader seorang ulama jelas tidak mudah dan sederhana, terutama di tengah dunia pendidikan saat ini yang jauh semakin kompetitif. Sementara, jumlah lembaga pendidikan pontren yang tetap mempertahankan fungsi dan peran tafaqquh fid-din (memahami agama) dengan konsentrasi kepada kajian kitab kuning tinggal sedikit, dan masing-masing memiliki kurikulum dan standar kelulusan yang beragam.

Lembaga pontren memerlukan redefinisi komprehensif dengan membatasi dan menentukan kembali unsur dan nilai pontren yang dimilikinya. Demikian pula, atas peran fungsi sebagai lembaga keagamaan, pendidikan dan sosialnya. Redefinisi aspek pontren dapat dianalisis dari perspektif kapasitas pontren. Kapasitas pontren meliputi: bentuk legal institusi pontren, pola pengambilan keputusan, pola kepengurusan pontren, sumberdaya sarana, sumber belajar, kultur pontren, pengembangan program akademik dan kelembagaan serta jejaring kerjasama. Analisis kapasitas pontren diharapkan dapat menjadi pijakan konkrit dan solusi bagi pembinaan dan pengembangan secara tepat sasaran baik oleh pemerintah maupun pihak yang berkepentingan lainnya.

Masalah dan Tujuan

Realitas perkembangan kelembagaan pontren, pada aspek tertentu memunculkan beberapa persoalan, seperti longgarnya definisi pontren, variasi pontren yang beragam, dan peran pontren yang semakin luas. Adapun longgarnya definisi pesantren ditemukan beberapa lembaga yang terdata di Kementerian Agama melalui EMIS Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut senyatanya bukan pontren karena tidak memenuhi unsur-unsur pontren. Variasi pontren yang beragam mengakibatkan langkah pembinaan tidak mudah dilakukan. Kategorisasi pontren seperti salafi (tradisional), khalafi (modern) dan kombinasi yang selama ini umum dipakai pada realitasnya tidak bersifat mutlak, bahkan cenderung kabur karena dalam realitasnya keadaan pontren yang selalu berkembang. Demikian pula, unsur-unsur pontren terus bertambah sesuai dengan laju perkembangan sarana dan prasarana yang dimilikinya. Adanya peran pontren yang semakin luas, menjadikan beberapa pontren tergoda melakukan orientasi kegiatan pada hal-hal yang bersifat praktis-pragmatis. Hal ini memerlukan solusi pemecahan dalam konteks pengembangan pontren, baik saat ini maupun untuk masa yang akan datang, khususnya terkait peran fungsi pontren sebagai lembaga keagamaan (dakwah), pendidikan, dan lembaga sosial (ekonomi, politik dan budaya).

Dinamika perkembangan zaman dengan berbagai konsekuensinya terus berjalan seiring dengan proses modernisasi yang menuntut pontren untuk menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi. Di sinilah kemampuan dan strategi pontren sebagai lembaga pendidikan Islam dipertaruhkan, apakah ia mampu mengambil peluang tersebut untuk kebaikannya ataukah ia malah terjebak dan bahkan kalah dari tantangan yang dihadapi. Kesenjangan pontren dan modernisasi sebagai produk dari globalisasi ini paling tidak dipicu oleh enam hal yang pada umumnya masih menandai kondisi objektif pontren, yaitu: lingkungan, penghuni/santri, kurikulum, kepemimpinan, alumni dan kesederhanaan.

Di sisi lain, pendidikan umum formal seperti madrasah dan sekolah banyak didirikan di lingkungan pontren untuk menarik minat orang tua ‘menitipkan’ anaknya di pontren, dan sebagai jawaban atas kebutuhan santri terhadap legalitas tanda kelulusan pendidikan formal. Namun pendirian pendidikan umum formal itu tidak diikuti upaya peningkatan mutu kajian kitab kuningnya, bahkan cenderung mengabaikannya. Akhirnya kajian kitab kuning di pontren hanya berfungsi takmili atas pendidikan umum formalnya. Santri sendiri lebih banyak menghabiskan waktu pembelajarannya di sekolah atau madrasah, dan pontren lebih sebagai boarding belaka.

Maka diperlukan kebijakan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menyusun kurikulum tafaqquh fid-din yang terstandar bagi pontren, guna mendorong pendidikan pontren untuk tetap dapat mengadaptasi perkembangan kehidupan dan kebutuhan masyarakat, namun dengan tetap mengemban misi tafaqquh fid-din demi melahirkan ulama yang mumpuni.

Adapun alasan dibutuhkannya kurikulum tafaqquh fid-din yang terstandar adalah untuk: mendorong seluruh pontren di tanah air agar tetap memiliki semangat dan potensi yang sama dalam melahirkan calon ulama; memastikan setiap santri di pontren memperoleh pelajaran kitab kuning pada setiap bidang keilmuan sesuai dengan jenjang pendidikannya masing-masing; dan menjadi acuan bersama bagi setiap pontren dalam melakukan upaya penguatan kajian kitab kuning.